The Perfect Balance, sebuah ungkapan yang kerap saya dengar saat mendengar lagu-lagu secara online atau mendengar ocehan teman-teman di sekitar. Banyak yang mengartikan bahwa ungkapan The Perfect Balance bukan hanya semata-mata dihadapi kerumitan sebuah status antar manusia, maknanya sangat luas dan sangat bisa diartikan ke berbagai situasi. Saat saya resapi saya memasuki fase The Perfect Balance, dimana tidak berada dibawah juga tidak berada diatas. Semua seimbang. Kesempurnaan yang dapat diimbangi. Meski sering tersandung dengan naik turunnya ketidaktetapan pekerjaan hingga relasi antar manusia, tidak membuat semata-mata saya terpuruk. Saya lebih banyak berhenti dan kembali berjalan. Pertama, saya melihat keinginan-keinginan saya terpenuhi begitu banyak pada saat memasuki tahun 2018, dan diimbangi dengan kesulitan yang membuat saya kembali tersandung dan mengaduh serta merta mengeluarkan umpatan-umpatan. Kekecewaan demi kekecewaan menggelayuti kehidupan, pikiran digeluti dengan keraguan dan penolakan. Terseret demi menginginkan sesuatu dan merelakan diri tergerus waktu. Kondisi saya tahun lalu sangat membuka mata saya untuk belajar dari kesalahan dan kefatalan. Saat memasuki 2019 saya mencoba lagi, dan lagi untuk terus terhenti, diam dan kembali berjalan. Fase itulah saya namakan, The Perfect Balance. Seperti mendengar spg di salah satu tempat bahan bakar mobil, dari titik nol terlebih dahulu sebelum terisi dengan pembelajaran hidup.
0 Comments
|
Siva armandaHigh Spirit in person, Media Studies appreciator, Archives
March 2024
SIVA. |