Tanggal 8 Maret 2020, pukul 06.35 WITA, saya terbangun karena kakak, dan keponakan saya mengoceh tanpa henti; kamar kami terhubung satu sama lain, dengan leluasa kakak saya dapat masuk dan membangunkan kami yang masih setengah terlelap. Hari ini hari Sabtu, tepatnya hari akan panjang karena kegiatan fotosesi, serta menemani keponakan melihat penangkaran penyu di Pulau Penyu, Tanjung Benoa. Lokasi fotosesi yang dipilih oleh keluarga saya; Pantai Melasti, Badung, Bali. Pemilihan lokasi yang sangat TURISTIK ini juga melewati pertimbangan yang banyak; jarak, kondisi sekitar pantai, biaya masuk pantai dan juga mendengar pendapat fotografer setempat bernama Mas Puja (SweetEscape Official Partner Photographer). Pertimbangan lokasi foto selain Pantai Melasti; Pantai Padang-Padang, Pantai Nyanyi, Pantai Suluban. Yang dimana ketiga pantai tersebut cukup berjauhan dan memakan waktu. Menuju Pantai Melasti memakan waktu 55 menit, melalui tol benoa/mandara mempercepat kami sampai di lokasi. Cuaca cukup panas menyengat, setelah diarahkan dimana pintu masuk wilayah Pantai Melasti, kami diberhentikan oleh petugas setempat yang menanyakan maksud dan tujuan kami ke pantai, setelah diketahui untuk fotosesi, terkena biaya sebesar Rp 200,000,- karena menggunakan jasa profesional. Setelah urusan administrasi selesai, kami melewati pemandangan yang cukup indah meski nampak berawan. Fotosesi bersama keluarga memang selalu menyenangkan (hasil foto kebahagiaan kami, di atas). Setelah 1 jam fotosesi, kami sekeluarga tergesa mengejar waktu sebelum makan siang, dan meluncur menuju lokasi penyeberangan Pulau Penyu, di Tanjung Benoa. Menuju Pulau Penyu tidak lama-lama, karena yang tertarik melihat penyu-penyu hanya keponakan saja, setidaknya ia mengetahui beberapa pelajaran bahwa banyak penyu yang dapat hidup sangat lama, hingga penyu dipenangkaran hanya bisa memakan rumput laut pilihan. Sesekali kita berbincang bersama bapak yang mengendalikan perahu semi speed boat, beliau mengatakan bahwa hari-hari semakin sepi semenjak pemberitaan mengenai virus covid-19 ini menyebar hingga ke Kota Bali, selain pendapatan berkurang juga minat turis lokal hingga internasional mengunjungi Tanjung Benoa, ikut menurun. Beliau jauh-jauh meninggalkan kampungnya di Banyuwangi, untuk mencari rezeki hingga ke Bali, saya jadi berpikir apabila mengingat kondisi sekarang yang semakin buruk, apa mungkin beliau masih tetap bertengger dipinggiran pantai Tanjung Benoa, menunggu adanya turis, atau kembali pulang ke Banyuwangi? Pada hari sabtu kala itu, meski terlihat ramai karena kunjungan anak sekolah dari Malang, Jawa Timur, Tanjung Benoa tidak kehilangan pamornya sebagai salah satu lokasi wisata olahraga air di Bali. Tapi kami sekeluarga hanya fokus melihat penyu, hanya penyu lah tujuan kami ke Tanjung Benoa. Cuaca mendukung membawa kami hingga ke tempat penangkaran penyu, meski saya akui, saya tidak bisa langsung jatuh hati dengan kondisi Tanjung Benoa, entah kenapa sejak dulu tidak suka dengan lokasi ini, mungkin karena saya melihat adanya potensi keabaian warga sekitar memelihara kebersihan pantai. Air laut berwarna gelap kecokelatan, dan sampah menggenang ditepian pantai, saya bergidik geli melihatnya. Sesekali melihat banyak anak-anak sekolah / turis lain menikmati wisata air, saya yang hanya duduk diatas perahu, hanya berharap tidak lama-lama di pulau penyu. Pulau Penyu, namanya begitu. Isinya? beragam, selain ada penangkaran penyu (tentunya), warga menjajakan beberapa souvenir khas bali, tidak lupa ada foto bersama ular sanca, atau binatang lainnya; kelelawar, entah tikus atau marmut, ayam, bebek, entah apalagi yang membingungkan saya. Tetapi keponakan begitu senang melihat-lihat penyu kecil hingga besar, setelah membiarkan dia memberi makan rumput laut ke penyu besar, kami berkeliling sebentar dan kembali pulang. fiuh. Terlihat fancy bukan makanan diatas? Ya, selain fancy, ini merupakan makanan yang saya temui diseputar Seminyak - Canggu, mungkin kalau saya menginap di Kuta beda lagi ceritanya, makan seafood terus atau malah ke mall lagi, mall lagi. Pada sejarahnya, saya memang tidak tahu menahu kenapa area seminyak menjadi begitu populer dengan turis internasional, sehingga cukup sulit menemukan makanan yang ramah diperut para turis lokal. Sebuah gap yang cukup besar bahwa memang lokasi-lokasi padat hotel, cafe di Seminyak sangat memanjakan para turisme internasional; lokal ya minggir sana kalian, mungkin begitu ya perumpamaannya. Rasa sih enak semua; dari bowls berisikan buah-buahan + jenis makanan sehat, kopi pahit, salmon pasta, pistachio + chocolate ice cream, nachos; semua masuk sih ke perut saya, dan saya akui enak-enak, tetapi bagaimana kalau banyak harapan turis lokal untuk mendapatkan sepiring nasi padang, jus jeruk murni hingga pisang batangan untuk pelengkap perjalanan mereka ke Seminyak? harus ke Kuta dulu ya repot. Mungkin ada satu dua toko menjajakan makanan lokal, atau warung kecil seperti warteg, tetapi lokasi tidak bisa dilihat hanya sekali mata mengedip, lokasi warteg yang terkadang tertutup oleh kendaraan atau memang ditutup karena budaya bali yang tidak memakan daging sapi, tapi banyak daging babi. fiuh.
Jadi perjalanan saya dan keluarga ke Bali menyenangkan, sangat turistik. Semoga saya ke depan bisa melakukan perjalanan cerita sendiri ke Bali, tanpa harus berkunjung ke tempat-tempat hits seperti diatas, meski kurang bereksplorasi menemukan cerita perjalanan yang kuat. Semoga setelah Covid-19 ini selesai, saya bisa mengunjungi kota lain lalu menulis kembali di blog! Sehat selalu semua!
0 Comments
Kabar tidak mengenakkan terdengar hingga hari-hari keberangkatan saya dan keluarga ke Bali, yang hingga sekarang semakin merajalela; Covid-19 (virus corona). Ditambah kecemasan berlebih dirasakan, keraguan untuk berangkat, keputusan untuk meng-cancel semua agenda di Bali sempat terlintas. Tetapi karena sudah diatur sedemikian rupa; kami, sekeluarga nekat untuk tetap melanjutkan perjalanan ke Bali, dan menjaga kebersihan selama bepergian. Beberapa kali diberitahu oleh rekan agar menunda perjalanan ke Bali, berita-berita menegangkan mengisi penuh whatsapp keluarga, belum lagi ayah saya yang luar biasa khawatir dengan paparan corona selama perjalanan. Perjalanan selama 1,5 jam menuju Bali tidak terasa, udara di bandara udara Ngurah Rai juga begitu terbuka dan biru, saya melepas jaket sesaat setelah turun dari pesawat, membimbing ibu dan ayah saya menuju bus yang akan mengantar ke bandara. Setelah semua berkumpul; ayah, ibu, kakak saya + suami serta keponakan saya langsung bebersih di toilet umum bandara, memakai hand sanitizer dan tidak melepas masker (saya melepas sebentar; karena memakai kelamaan jadi sesak), menunggu mobil sewaan, saya sekilas mendengar obrolan para pekerja yang membersihkan toilet bandara, ada rasa khawatir penuh getir terdengar. Pembicaraan seperti; 'sepi' 'nasib saya bagaimana?' 'sampai kapan begini?' terdengar sayup-sayup saat saya mencuci dan membasuh tangan dengan sabun. Saya jadi diam, dan berpikir. Penuh tanya juga. Apa Bali menjadi begitu kosong melompong? Tepat pukul 09.30 WITA, mobil sewaan datang, dan kami sekeluarga langsung gotong royong memasukkan barang ke bagasi dan bersiap untuk sarapan serta menuju Safari & Marine Park, Bali. Selama perjalanan, sedikit demi sedikit melupakan corona. Tidak lama perjalanan keluar bandara, kami sarapan disebuah warung berbentuk ruko yang menjual nasi ayam, Warung Wardani. Sebagian mungkin sudah sangat mengenal dengan warung nasi campur ayam ini, dekat dengan bandara Ngurah Rai. Kata ibu saya daripada panik, lebih baik mengisi perut dengan makanan padat. Begitu sepiring Nasi Campur 1 (nasi putih, telur, ayam suir, udang, sate tusuk, sate lilit, sayur dan sambel) masuk ke dalam perut, diiringi segelas teh botol + es batu; semua menjadi menyenangkan. Rasa enak, dan melanjutkan perjalanan menjadi lebih ringan (lupakan corona sejenak). Kembali mengoceh dalam mobil sewaan menuju Bali Safari & Marine Park, kami melewati tol membelah laut (tol Bali Mandara), terkagum-kagum kebersihan tol serta juga terheran-heran betapa sepinya Bali saat itu. Sesampai di Bali Safari & Marine Park, kami bergegas untuk masuk dan kembali melihat sekitar yang sangat sepi; hari sabtu, 7 Maret 2020, pukul 10.30 WITA bukan hal yang wajar melihat Safari sesepi ini, kami menjadi teringat 4-5 tahun lalu berkunjung ke Bali Safari & Marine Park juga tidak sesepi itu; tanya punya tanya; akibat Covid-19 sudah menjadi topik utama dunia (pandemik) banyak turis Internasional maupun lokal mengurungkan niat untuk ke Bali. Selama Safari Journey, menonton Tiger Show, mini Safari memang masih melihat beberapa turis seperti kami; beberapa turis Internasional yang hanya bisa dihitung jari. Istirahat sebentar, menunggu keponakan melihat Komodo Dragon; saya dan ibu saling mengobrol dan menyayangkan kondisi seperti ini. Semoga Bali segera pulih dan ramai pengunjung. Beberapa kali berpikir, sedang miris dengan kondisi, saya leluasa melakukan pose senang-senang bersama keluarga, dibalik pengambilan foto, sesekali kami khawatir dengan sepinya keadaan; tapi karena keponakan saya senang sekali melihat binatang; kita berusaha untuk senang dan ceria. Meski saya akui, lumayan seru kembali ke Bali Safari & Marine Park. Selesai berkeliling, kami memutuskan makan siang disekitar Sanur, tidak sabar mencoba gurihnya ikan goreng, segarnya sop ikan + sambal, nasi sebagai pelengkap. Dengar-dengar Warung Mak Beng ini memang terkenal, hingga beberapa kali kakak saya membicarakannya terus menerus. Sesampai di Sanur, suasana sudah mendung sekali, setelah diarahkan duduk, kami memesan 4 porsi makanan, dan es jeruk dingin dan hangat. Saya tidak sanggup makan saat itu, hanya setuju memakan bersama ibu, dan meminum jeruk hangat. Saya sih suka-suka saja dengan ikan goreng, sambal di Warung Mak Beng juga pedas. Sedap. Tetapi, saya kurang suka dengan ikan di sop nya, meski tidak amis sama sekali. Saya lebih suka memakan nasi dengan ikan goreng, melegakan tenggorokan dengan air sop. Saya tidak memotret Warung Mak Beng, karena sudah letih dan cuaca hujan deras. Kami terjebak hampir dua jam di Sanur, perjalanan menuju Seminyak cukup jauh, sehingga mau tidak mau kami harus melawan derasnya air hujan menuju mobil sewaan. Dan, saya cukup terkejut, ternyata Bali Banjir! Tepatnya dimana lokasi banjir Bali? Masih dekat Sanur, dan memang setelah beberapa kali memaksakan diri menembus banjir, daerah tersebut terkenal dengan banjirnya. Bell Boy dan resepsionis di Jambuluwuk Oceano Seminyak juga mengakui, bahwa daerah tersebut rawan sekali banjir karena daerah yang cukup rendah. Ingin rasanya saya turun dari mobil, dan mengarahkan mobil serta motor yang memadati satu arah jalan, meski hal tersebut tidak jadi saya lakukan, karena waktu sudah menunjukkan pukul 15.45 WITA semakin sore untuk sampai di wilayah Seminyak.
Kami menginap di wilayah Seminyak, memutuskan menginap didaerah terkenal itu karena memang banyak kemudahan didapatkan; mini market, warung murah, dan beberapa kafe hits untuk memenuhi kepuasan keluarga. To be continue. Kembali (Bali) menjadi rencana awal perjalanan keluarga diawal tahun 2020. Tadinya saya enggan berkunjung ke Pulau Dewata, karena keinginan lebih condong ke Indonesia bagian Timur atau Selatan (Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sumba atau Aceh, Medan). Tapi seperti biasa karena kendala budgeting serta keinginan keluarga, saya mengalah lagi. Kali ini personil sama seperti 4 tahun yang lalu; keluarga inti. Uniknya kita akan melakukan fotosesi yang akan diabadikan oleh tenaga profesional.
Bosan memang berkunjung ke Bali tapi selalu ke tempat turis, mungkin saya akan mencari jalan agar perjalanan kembali (Bali) tidak membosankan. Berjalan kaki menuju pasar? Bertemu teman yang sudah lama hijrah ke Bali? Menolak bergabung ke Pulau Penyu dan berjalan sendiri di sekitar Seminyak? entahlah, tapi saya harus menelusuri beberapa hal kosong yang tidak bisa saya temukan di Bali, layaknya perasaan orang-orang saat kembali ke Bali; pulang. Perasaan pulang dan bebas saat di Bali belum begitu terasa di saya. Saatnya saya cari tahu dengan cerita baru. To be continue. |
Siva armandaHigh Spirit in person, Media Studies appreciator, Archives
March 2024
SIVA. |